Skip to main content

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dari Perspektif Politik Hukum di Indonesia1

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dari Perspektif Politik Hukum di Indonesia1
Abstrak
            Memanfaatkan perspektif politik hukum, artikel ini membahas tentang CLD-KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam-) diatur oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI tahun 2004. CLD berisi usulan revisi peraturan hukum keluarga di Indonesia yang diformat dari perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan gender dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsep ini telah menyebabkan pro dan kontra di antara anggota masyarakat. Lawan umumnya berasal dari umat Islam kelompok yang menjunjung tinggi agenda pelaksanaan syariah, sementara para pendukung datang dari msulims kelompok yang mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralisme. Mayoritas ntellectuals akademik menghargai konsep dengan kesepakatan mereka pada beberapa titik dalam konsep. Penolakan draft adalah hasil dari penggunaan perspektif aneh dalam studi hukum Islam seperti demokrasi, gender dan hak asasi manusia yang dianggap sebagai gangguan dari Barat terhadap hukum Islam, dan produk dari perspektif tersebut tidak mencerminkan ide-ide berasal dari Al-Qur'an dan Hadits. Kontroversi juga furit dari fakta bahwa tim mengatur draft keuntungan dukungan keuangan dari Asia Foundation, dan ini telah membuat perdebatan tentang rancangan diwarnai oleh isu-isu politik, terutama isu kepentingan politik Barat untuk menyebarkan ide-ide tentang sekularisme dan liberalisme kalangan umat Islam Indonesia. Hukum Islam, oleh karena itu, tidak dapat dianggap sebagai masalah teologi murni, tetapi juga politik. Terlepas dari kontroversi, tampaknya bahwa CLD-KHI gagal untuk meyakinkan Pemerintah, DPR, dan tokoh-tokoh mayoritas Muslim konservatif, bahkan, kontroversi telah membuat hubungan antara liberal dan konservatif Muslim buruk. Pada tingkat konseptual, CLD-KHI, namun, ternyata berhasil menyatukan hukum Islam dengan ide-ide dan praktek demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan dan kesetaraan gender di kedua metodologi dan perumusannya. Situs milik CLD-KHI telah menjadi objek diskusi serius akademik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Kata kunci: Counter Legal Draft, Kompilasi, Hukum Islam, Perspektif Politik, Indonesia
A. pengenalan
Pilar pembaharuan hukum keluarga Islam dalam sejarah politik hukum di era Independent-Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang 1/1974 tentang pernikahan di paruh pertama Orde Baru. Tujuh belas kemudian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dianggap sebagai hukum bahan Pengadilan Agama diatur berdasarkan Instruksi Presiden No 1/1991. Pada tahun 2003, Departemen Agama mengusulkan rancangan sementara pada aturan yang diterapkan hukum untuk Pengadilan Agama (Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Draft melengkapi bahan milik KHI dan upgrade status KHI dari Instruksi Presiden menjadi ketentuan (tindakan) .2
Menanggapi rancangan HTPA, pada tanggal 4 Oktober 2004 tim kerja yang disebut Kelompok Kerja Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI (kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia / Pokja PUG Depag) meluncurkan draft pada hukum Islam dikenal sebagai Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Draft Counter Legal dari Kompilasi Hukum Islam / CLD-KHI). Draft ini mengusulkan beberapa konsep tentang pembaruan hukum keluarga Muslim dalam bentuk rancangan sementara hukum perkawinan, hukum waris Islam, dan hukum pada properti disumbangkan ke penggunaan agama (wakaf). Rancangan ini terdiri dari 178 artikel dan mengusulkan 23 poin dari ide-ide pembaruan hukum Islam. Dibandingkan dengan KHI-Inpres, pembaharuan pada CLD-KHI berkonsentrasi pada tiga bidang; perkawinan, warisan dan wakaf. The perbandingan secara detail dari kedua KHI-Inpres dan CLD-KHI dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
1. UUD pernikahan
No
Diskusi
KHI- Impres No1 /1991
CLD- KHI
1
Pernikahan
Pernikahan adalah bentuk ibadah (Pasal 2)
Pernikahan bukan bentuk ibadah ('ibadah), tetapi milik mu'amalat (kontrak berdasarkan kesepakatan bersama antara dua pihak) (Pasal 2)
2
Wali
Ini adalah pilar (RUKN) pernikahan (Pasal 14)
Hal ini tidak pilar pernikahan (Pasal 6)
3
Administrasi Pernikahan
Tidak pilar perkawinan (Pasal 14)

Pilar perkawinan (Pasal 6)
4
Perempuan saksi dalam pernikahan
Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi saksi (Pasal 25)
Perempuan, seperti laki-laki diperbolehkan untuk menjadi saksi dalam pernikahan (Pasal 11)
5
Usia minimal
Tua untuk pengantin 16 tahun, dan 19 yeras tua untuk pengantin pria (Pasal 15)
Tua untuk kedua pengantin 19 tahun (Pasal 7)
6
Pernikahan untuk
Virgin (gadis yang
pernah
menikah sebelumnya)
Tidak peduli usia, dia harus menikah di bawah kendali walinya atau orang atas nama walinya (Pasal 14)
Gadis dalam 21 tahun dia berusia bisa menikah tanpa izin darinya
wali (Pasal 7)
7
Mahar
Diberikan oleh pengantin pria ke pengantin (Pasal 30)
Dapat diberikan oleh pengantin untuk pengantin pria dan sebaliknya (Pasal 16)
8
Sikap suami& istri
Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah kiper rumah tangga (Pasal 79)
Stance, hak dan kewajiban suami dan istri adalah sama (Pasal
49)
9
Kebutuhan dasar hidup (nafkah)
Kewajiban suami
(Pasal 80 angka 4)

Kewajiban suami dan istri (Pasal 51)
10
Perjanjian tentang
periode waktu tertentu pernikahan
Tidak diatur
Tidak Diatur,
Diatur; pernikahan berakhir bersama-sama dengan akhir periode tercantum dalam perjanjian (Pasal 22, 28, dan 56 titik [a])
11
Antar-agama
pernikahan
Benar-benar dilarang
(Pasal 44 dan 61)
Diizinkan, asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan (Pasal 54)
12
Poligami (ta'addud
al-zawjât)
Diizinkan, dengan beberapa kondisi (Pasal 55-59)

Tidak diizinkan sama sekali, haram li ghairihi
(Pasal 3)
13
Iddah (masa transisi)
'Iddah hanya diterapkan pada istri (Pasal 153)

'Iddah diterapkan untuk kedua suami dan istri (Pasal 88)
14
Iddah cerai
Berdasarkan dukhûl (Pasal 153)
Berdasarkan akad, bukan pada dukhûl
(Pasal 88).
15
Ihdâd (berkabung)
Ihdâd hanya diterapkan pada istri (Pasal 170)
Selain untuk istri, ihdâd juga diterapkan pada suami (Pasal 112)
16
Nusyuz (memberontak
Dari melakukan
Kewajiban)
usyuz hanya mungkin
dilakukan oleh istri (Pasal 84)

Nusyuz dapat dilakukan dengan istri dan suami (Pasal 53 [1])
17
Khulu` (perceraian oleh inisiatif istri)
Khulu` dinyatakan sebagai Thalaq bâ'in Sughra, baik suami dan istri yang diizinkan untuk mendamaikan dengan kontrak pernikahan baru (Pasal 119)
Khulu` adalah sebagai sama Thalaq, suami dan istri yang diizinkan untuk reconcilliate (raj'iy Thalaq) (Pasal 1 dan 59)

2. Hukum Warisan
No
Diskusi
KHI- Impres No.1/ 1991
CLD- KHI
1
Agama yang berbeda antara orang mati dan ahli warisnya
Hal ini menjadi kendala (mani ') dalam proses pewarisan (Pasal 171 dan 172)
Ini bukan halangan (mani ‘) dalam proses pewarisan (Pasal 2)
2
Anak ilegal
Hanya memiliki hubungan dengan-Nya
Ibu (pasal 186)
Jika / ayah kandungnya itu diketahui, ia / dia memiliki hak untuk inherite kekayaan / nya ayahnya (Pasal 16)
3
Awl dan radd
Kedua aul dan radd yang
diadopsi (Artikel 192 dan
193)
Dihilangkan
4
Berbagi untuk anak dan
putri

Berbagi untuk anak adalah dua kali dari itu untuk putri
Berbagi untuk putra dan putri adalah sama (Pasal 8 [3]).
           
3. UUD Wakaf (properti disumbangkan untuk penggunaan agama)
No
Diskusi
KHI- Impres No.1/ 1991
CLD- KHI
1
Hak intelektual
kekayaan sebagai milik
disumbangkan ke penggunaan agama
tidak diatur
Diatur (Pasal 11)
           
            Tampak bahwa peraturan dalam usulan dari CLD-KHI berbeda dari yang hukum Islam di KHI-Inpres, RUU HTPA, dan pemahaman tentang hukum Islam tersebar luas di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagai seperangkat aturan Islam hukum, CLD-KHI didasarkan pada sumber utama Islam, al-Qur'an dan al-Hadits yang didukung oleh penalaran. CLD-KHI, apalagi, juga didasarkan pada buku klasik yang biasa digunakan sebagai referensi di pesantren. Beberapa pertanyaan dapat diatasi. Di antara pertanyaan-pertanyaan adalah:
  - Apa logika hukum Islam CLD-KHI yang menghasilkan proposal pada pembaharuan hukum keluarga Islam yang berbeda dari hukum sebelumnya?
 - Bagaimana tokoh Muslim memberikan respon terhadap CLD-KHI?
- Di mana titik tidak masalah CLD-KHI yang produk pro dan kontra masyarakat dan membuat Menteri Luar agama melarang CLD berbaring di?
 Sejalan dengan pertanyaan utama increment, artikel ini akan ellucidate alasan di balik gagasan pembaruan hukum keluarga Islam yang diusulkan oleh CLD-KHI dan tanggapan pro dan kontra yang diucapkan oleh tokoh-tokoh Muslim Indonesia. Latar belakang sejarah munculnya CLD-KHI, tujuan hukum dan tema utama dari pembaruan hukum Islam yang diusulkan oleh CLD-KHI dengan logika mereka akan ellucidated sebelum menjelaskan kedua pembaharuan dan tanggapan nya.
 Penjelasan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pendapat yang berbeda tentang pembentukan hukum Islam tidak hanya tergantung pada penalaran teologis, tetapi juga isu-isu sosial-politik dan aspek. Aspek non teologis telah diproduksi oleh hukum Islam yang dilakukan oleh anggota masyarakat di Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan dibenarkan oleh politik negara. Sukses dan gagal dari undang-undang hukum Islam, oleh karena itu, tidak hanya tergantung pada isu-isu teologis benar atau salah, tetapi juga pada konfigurasi kekuatan politik yang mendukung atau menolak undang-undang.
  B. Pembentukan CLD-KHI dan Its Harapan Hukum
 CLD-KHI adalah rancangan hukum kontra terhadap hukum Islam dari KHI-Inpres. KHI-Inpres berisi aturan hukum Islam yang mengatur perkawinan, warisan dan sumbangan Islam. Meskipun tidak penting, tapi hampir 100 persen dari aturan hukum Islam di KHI yang disebut oleh hakim di Pengadilan Agama dalam membuat putusan. Bahan-bahan tersebut juga disebut oleh aparatuses dan pejabat dari Kantor Urusan Agama (Kantor Urusan Agama) dan banyak anggota masyarakat.3 Daripada mudah dipahami karena ditulis dalam bahasa Indonesia, KHI-Inpres juga memberikan kepastian hukum karena tidak mengusulkan perubahan hukum sebagai fiqh. Berdasarkan alasan ini, Pokja PUG Departemen Agama choosed KHI-Inpres, tidak RUU HTPA, sebagai bahan baris dalam merumuskan CLD-KHI.
 CLD-KHI diatur oleh tim yang terdiri dari individu-individu dengan berbagai latar belakang studi Islam. Beberapa dari mereka memiliki hubungan dengan pesantren dan sisanya ke IAIN / UIN. Mereka dosen dan peneliti dengan latar belakang institusi yang berbeda. Beberapa dari mereka adalah anggota dari Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lainnya adalah anggota organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI. Hanya dua orang yang berasal dari Departemen Agama. Hal ini juga terjadi pada individu yang berkontribusi pada ide-ide menyimpulkan di CLD-KHI. Mereka datang dari berbagai pusat studi Islam seperti Pesantren, UIN / IAIN / STAIN, dan Non Islam Swadaya Masyarakat.
 Selain kelompok kerja, perumusan CLD-KHI melibatkan beberapa ulama, ahli, dan aktivis LSM Islam yang memberikan kontribusi penting untuk ide-ide dan pemikiran tentang pembaharuan hukum keluarga Islam. Pemilihan pada anggota tim yang mengatur dan tim yang berkontribusi CLD-KHI dilakukan oleh Pokja PUG berdasarkan latar belakang pendidikan mereka hukum Islam, keterlibatan mereka pada isu-isu perempuan, dan kepedulian mereka pada perspektif gender dalam membaca harta hukum Islam . Berbagai organisasi dan jaringan LSM juga dipertimbangkan dalam memutuskan individu yang terlibat dalam tim.
 Pekerjaan utama dalam proses perumusan CLD-KHI sedang mengkaji KHI-Inpres, mempelajari literatur Islam klasik, dan melakukan penelitian lapangan di lima wilayah (Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat), melakukan pemeriksaan ilmiah, memilih dan menyerap pandangan ulama dan ahli hukum, mempublikasikan dan menyebarluaskan produk dan pemeriksaan umum. Kegiatan ini dapatdijelaskan oleh diagram berikut:
Tim melakukan pekerjaan mereka selama dua tahun, 2003-2004, dan berhasil mengatur naskah CLD-KHI yang terdiri dari 125 pages.4 CLD-KHI termasuk artikel yang terdiri dari ide-ide utama dan latar belakang mereka, agenda dan harapan, dan metode perumusan hukum Islam. Ide-ide utama diletakkan di Pendahuluan. Naskah akademik ditulis dalam bab dua di bawah tilte "Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang pluralis Dan Demokratis" (Menuju Kompilasi Plural dan Hukum Islam Demokrasi Indonesia. Bagian terakhir dari naskah menjelaskan KHI-Inpres dan yang metodologis Masalah dengan mengacu beberapa prinsip dari teori hukum Islam sebagai dasar perumusan CLD-KHI.
  Bahan dari CLD-KHI disebutkan dalam bagian terakhir dari buku yang berjudul
Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (The Pembaruan hukum Islam: Counter Legal Draft ke Kompilasi Hukum Islam). Seperti KHI-Inpres, naskah CLD-KHI juga terdiri dari tiga bab, [1] buku saya tentang hukum Islam tentang pernikahan (19 bab dan 116 artikel), [2] Buku II tentang hukum waris Islam (8 bab dan 42 artikel), dan [3] Buku III tentang hukum Islam dari sumbangan properti (5 bab dan 20 artikel). Setiap rancangan dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pada semua artikel.
Naskah ini bertujuan untuk menjadi satu set perumusan hukum Islam yang dapat diambil sebagai acuan dasar untuk mewujudkan keadilan sosial yang menjunjung tinggi kemanusiaan, apreciates hak-hak perempuan, menyebar kebijaksanaan dan kemakmuran, dan menyadari manfaat bagi seluruh umat manusia. "5 Dalam rangka perspektif ini [baru] perumusan hukum Islam,
 "... Semua warga negara memiliki sikap yang sama dan mereka diperlakukan sama, kelompok minoritas dan perempuan dilindungi dan hak-hak mereka sama-sama dijamin. Hukum Islam disusun berdasarkan al-syari'at [tujuan utama syariah] maqashid, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial dan prinsip-prinsip, manfaat dan kesejahteraan masyarakat dan kearifan lokal. "6
B. Respon terhadap Formalisasi Syariah
Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, gerakan-gerakan Islam memainkan peran penting pada politik identitas. Mereka tidak hanya bebas untuk mendirikan partai politik dan organisasi massa Islam, tetapi juga berbicara agenda mereka untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke konstitusi Indonesia (UUD 1945). Mereka mempromosikan tujuh kata "dengan kewajiban untuk melaksanakan syariah untuk pemeluknya" untuk menggantikan Pasal 29 UUD 1945 dalam rapat umum Partai Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999 dan pertemuan lipat dari MPR 2000, 2001, 2002 di bawah program amandemen UUD 1945,7
Ide formalisasi syariah ditegakkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bulan (PBB) dan didukung oleh Dewan Indonesia untuk Dakwah Islam (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin (MM) , Front Pembela Islam (FPI), dan Muslim Congress (KUI) .8 suara mereka pada pelaksanaan syariah menjadi wacana hangat di kalangan anggota DPR dan masyarakat Indonesia. Meskipun mereka gagal untuk menyimpulkan tujuh kata dalam UUD 1945 dalam pertemuan lipat dari MPR 2000,9 strugle yang belum selesai dengan berbagai strategi, termasuk democracy10 menunjukkan bahwa di antara agenda mereka mendirikan state11 Islam dan pelaksanaan syariah.
Sejak tahun 1999 sampai 2008, insistance pelaksanaan syariah termasuk dalam bahan beberapa peraturan sementara. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang No 19/2008 tentang Surat Berharga Negara Syari'ah dan Undang-Undang Nomor 44/2008 tentang Pornografi, dan beberapa draft sementara seperti draft hukum pidana yang masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Gerakan pemerintah.12 Indonesia menuntut pelaksanaan syariah juga terjadi di beberapa kabupaten. Hal ini dilakukan dengan mencoba untuk menumpahkan cahaya peraturan daerah (Perda). Dari tahun 1999 sampai tahun 2006, 78 peraturan pemerintah setempat dijiwai oleh syariah yang diterbitkan oleh 52 kabupaten / kota -dari 450 kabupaten / kota di Indonesia. Dari tahun 2002 sampai 2003 waktu di mana CLD-KHI diluncurkan adalah periode puncak penerbitan peraturan atau peraturan dengan nuansa syariah oleh pemerintah daerah syariah. Dari 2003 hingga 2006, penerbitan peraturan syariah menurun dan pada tahun 2007 ada peraturan pemerintah lokal dijiwai oleh syariah adalah issued.13
Memperhatikan dekat dengan fenomena meningkatnya Islamisme setelah jatuhnya Orde Baru Indonesia, tim CLD-KHI berpendapat bahwa insistance formalisasi syariah tidak sesuai dengan sistem hukum nasional dan akan mendiskriminasi warga non Muslim. Menurut tim, jika formalisasi syariah diterima, akan mempertanyakan pilar pluralisme dan demokrasi. Tim menempatkan worriness ini menjadi alasan utama untuk konsep syariah yang plural dan demokratis, dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan jenis kelamin equality.14 Konsep mengatur, meskipun berasal dari sumber doktrin Islam, mengambil peran sebagai bagian dari hukum positif di bawah kerangka hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan segala peraturan sementara.
Mengapa tim memilih adalah KHI-Inpress terpilih sebagai obyek kritik? Dua alasan yang diajukan. Pertama, KHI-Inpres adalah satu-satunya peraturan syariah diterima oleh negara dan untuk yang hakim pengadilan agama merujuk dalam membuat putusan. Hal ini juga disebut oleh pejabat dari Kantor Urusan Agama (KUA) dan banyak anggota masyarakat untuk memecahkan masalah hukum. Kedua, Departemen Agama telah mengusulkan sikap dan status KHI-Inpres untuk ditingkatkan dari Instruksi Presiden untuk menjadi RUU HTPA. Bahkan, buku ketiga dari KHI-
Inpres di properti disumbangkan untuk digunakan agama ditingkatkan menjadi UU Wakaf pada tahun 2004 (UU No 41 2004). 15
Alasan lain adalah bahwa perumusan hukum Islam yang termasuk KHI-Inpres kedaluwarsa dan perlu direvisi didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, KHI-Inpres memiliki kelemahan penting dalam visi dan misinya. Beberapa artikel milik KHI-Inpres bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Mereka bertentangan dengan kesetaraan (al-Musawah), persaudaraan (al-ukhuwwah), dan keadilan (al-`adâlah). Kedua, dibandingkan dengan peraturan sementara yang lain baru-baru ini, beberapa artikel yang kedaluwarsa dan mereka juga menentang meratifikasi konvensi internasional. Ketiga, dari sudut pandang metodologis, tampaknya KHI-Inpres merupakan hukum Islam klasik. Pembentukan KHI-Inpres tidak sepenuhnya sesuai dengan framwork masyarakat Muslim Indonesia, dan itu mencerminkan aturan Timur Tengah dari law.16
C. Penalaran dari CLD-KHI: Mewujudkan Demokrasi dan Pluralis Hukum Islam dan Kesetaraan Gender
Mulai dari pemahaman kondisi sosial-politik setelah jatuhnya Orde Baru, tim CLD-KHI ditantang untuk menyajikan Syariah yang cocok untuk Indonesia dan membayar pertimbangan memperhatikan karakter bangsa, budaya, dan upaya untuk menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia , termasuk hak-hak perempuan. Ini bertujuan untuk melawan agenda formalisasi syariah yang ingin kembali ke Piagam Jakarta, menetapkan negara Islam, mengabaikan pluralisme budaya dan mengabaikan hak-hak perempuan.
Mengkritik KHI-Inpres, tim CLD-KHI switch bingkai teoritis dalam merumuskan hukum Islam "dari theocentris ke anthropocentris, dari elitis dengan alam populer, dari deduktif ke induktif, dan dari eisegese ke exegese." 17 Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Budaya Indonesia berbeda dari Timur Tengah, bukan fakta bahwa banyak wanita dewasa di Indonesia memiliki pekerjaan yang produktif, bahkan beberapa dari mereka menjadi pemimpin umum seperti Kepala Desa, Kepala Kantor Polisi dan Presiden.
Berdasarkan kerangka increment, tim CLD-KHI interpretes ayat Alquran dan al-Hadits dari perspektif kepentingan publik (mashlahah), kearifan lokal, maqashid al-syari'ah, dan logika publik. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip Fikih Islam dimanfaatkan oleh tim dalam merumuskan konsep hukum Islam. Tim Namun, masih membutuhkan perbendaharaan karya klasik (kitab kuning) dari berbagai sekolah hukum Islam.
Ini berarti bahwa semua aturan hukum Islam di CLD-KHI diformulasikan dari sumber otoritatif Islam, al-Qur'an dan al-Sunnah, dan perbendaharaan karya klasik (kitab kuning) dengan memeriksa kebutuhan, pengalaman dan tradisi yang hidup di antara anggota masyarakat Indonesia, dan peradaban Islam secara umum serta peradaban Barat. Metode penafsiran tim dapat dijelaskan oleh tabel berikut:
Perbedaan mendasar antara penalaran dari CLD-KHI dan bahwa KHI-Inpres terletak pada perspektif dan pendekatan mereka serta landasan hukum bagi pembentukan hukum Islam. Para anggota tim CLD-KHI jelas menyatakan bahwa mereka memanfaatkan perspektif kesetaraan gender, pluralisme, hak asasi manusia dan emokrasi dalam merumuskan law.18 keluarga Islam Perspektif ini akan membuat syariah menjadi hukum publik yang diterima oleh semua anggota masyarakat dan membuat pencocokan syariah untuk demokrasi. "19
Hasil penalaran yang cocok dengan peraturan sementara dari Indonesia. Ini memiliki link ke aturan undang-undang yang menyatakan bahwa aturan kemudian hukum seharusnya tidak bertentangan dengan yang sebelumnya. Sebelum CLD-KHI dibuat, MPR telah diamandemen UUD 1945 empat times.20 Bagian penting dari ammendments adalah bahwa mereka menempatkan demokrasi, kesetaraan dan hak asasi manusia di posisi strategis. Beberapa tindakan yang mendukung isu-isu tersebut juga dikeluarkan seperti UU No 7/1984 tentang legalisasi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,), UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menghilangkan, UU No 12/2005 tentang Legislasi dari ICCR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,), UU No 11/2005 tentang undang-undang ICESCR (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya). Dalam rangka ketentuan ini, CLD-KHI diformulasikan dalam bentuk artikel.
Pertimbangan hukum ini diterapkan di bawah visi hukum Islam idealis diadopsi oleh CLD KHI. Visi ini terdiri dari enam poin, yang "pluralisme (ta'addudiyyah), kebangsaan (muwâthanah), menjunjung tinggi hak asasi manusia (iqâmat al-huquq al-insâniyyah), demokrasi (dîmûqrathiyyah), manfaat publik (mashlahat), dan kesetaraan gender ( al-Musawah al-jinsiyyah). "21 Mereka enam prinsip mengilhami semua aturan hukum Islam milik CLD-KHI.
 Sejalan dengan visi, perspektif dan pendekatan, CLD-KHI mengusulkan prinsip-prinsip Islam yang berbeda dari KHI-Inpres, dan CLD-KHI membuat paradigma pernikahan, hubungan antara suami dan istri serta antara anak dan orang tua, administrasi pernikahan, perceraian , dan rekonsiliasi menjadi sama dan demokratis. Dalam konteks politik hukum, CLD-KHI menempatkan hukum Islam di bawah kerangka hukum nasional dan perubahan relasi gender antara anggota masyarakat Indonesia setelah Orde Baru. Perubahan relasi gender, baik di tingkat nasional maupun global, memerlukan aturan hukum Islam yang sesuai dengan perubahan.
D. Kontroversi CLD-KHI: Tanggapan Umum
Kontroversi dalam bentuk pro, con dan pro dengan revisi selalu menimbulkan antara anggota masyarakat ketika memahami doktrin Islam yang berbeda dari didirikan satu dipromosikan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus seperti ide "Rasional Islam (Islam Rasional)" yang diusulkan oleh Harun Nasution22 dan gagasan "sekularisasi Islam" (Sekularisasi Islam) oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) di tahun 1970-an, gagasan "Menghidupkan Islam atas orang-orang pribumi "(pribumisasi Islam)" oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tahun 1980-an, 23 ide "mengontekstualisasikan Islam (kontekstualisasi Islam)" oleh Munawir Sjadzali24 dan gagasan penyatuan "zakat dan pajak" oleh Masdar F. Mas 'udi di tahun 1990-an, 25 dan gagasan "liberalisasi Islam (liberalisasi Islam)" oleh Ulil Abshar Abdalla di-2000s.26 ini juga terjadi pada usulan CLD-KHI mengandung bahan pada pembaharuan hukum keluarga Islam pada tahun 2004.
Kontroversi ini mulai dari peluncuran pertama CLD-KHI pada tanggal 4 Oktober 2004 di Jakarta. HM Taher Azhari (UI Jakarta) dan Hasanuddin AF (MUI) sebagai orang resourse menyatakan penolakan theri untuk CLD-KHI pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa CLD-KHI tidak mengacu pada al-Qur'an dan al-Sunnah. Hasanudin berpendapat bahwa "CLD-KHI disusun berdasarkan sentimen dari tim." 27 sementara Azhari menyatakan bahwa anggota tim "memanfaatkan akal dan mengabaikan wahyu. CLD-KHI lebih sekuler daripada BW (Burgerlijk Wetboek, Kode hukum swasta di periode kolonial Belanda) karena mengukur validitas pernikahan berdasarkan urusan pribadi dan annules sisinya ibadah .. "28 Azhari, bagaimanapun, tidak menolak semua konsep CLD-KHI. Dia berpendapat bahwa ada empat aspek yang dapat diterima. Pertama, CLD-KHI mengusulkan hak perempuan untuk rekonsiliasi. Ini berarti bahwa rekonsiliasi bukan hanya hak suami. Seccond, berkabung periode setelah pemakaman (ihdâd) tidak hanya diterapkan pada istri, tetapi juga untuk suami. Ketiga, nusyuz tidak hanya milik istri, tetapi juga untuk suami. Keempat, anak haram memiliki hak untuk inherite harta / ayah kandungnya nya.
KH Husein Muhammad (Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon) dan Rita Serena Kolibonso (Mitra Perempuan) lain-dua narasumber mendukung ide-ide yang diusulkan oleh CLD-KHI pada waktu itu. Menurut Husein, para pendukung pembaruan Islam, terutama femenists, telah menunggu ide-ide tersebut untuk waktu yang lama. Dia berpendapat bahwa ide-ide yang tidak yang populer dalam sejarah hukum Islam dan mereka diadopsi oleh minoritas, tetapi banyak kebenaran datang dari ideas.29 tidak populer ini
Dari saat ini, ide-ide bolonging untuk CLD-KHI telah dibahas di media publik baik yang tertulis maupun elektronik, serta seminar. Ide-ide juga dibahas di kantor. Ada dua poin kontroversial CLD-KHI: gagasan tentang hukum dan pendekatan yang digunakan untuk merumuskan ide-ide Islam. Berdasarkan berbagai sumber seperti berita di media, wawancara dengan tokoh-tokoh Muslim, dan penelitian lapangan, dapat diketahui bahwa ide telah mengangkat pro dan kontra di antara anggota masyarakat. Pro dan kontra yang diukur dengan elucidating komentar dan opini yang objektif tentang ide-ide. Artikel ini mencoba untuk menyajikan organisasi yang pendukung dan penentang ide datang.
1. Grup Lawan
Beberapa hari setelah CLD-KHI diluncurkan, anggota dewan dari Majelis Ulama Indonesia (CIU / MUI) serius membahas ide-ide. Mereka menganggap ide-ide dalam CLD-KHI adalah sesat, bid'ah (penyimpangan), taghyîr (mengubah orisinality hukum Islam), dan memanipulasi Quran verses.30 Beberapa anggota dari CIU menyarankan CIU sebagai lembaga meminta dan hakim setiap anggota CIU yang terlibat dalam mengatur CLD-KHI. Fatwa komisi CIU memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada Kepala Dewan CIU.31 Tapi tidak ada informasi yang dapat ditemukan tentang Keputusan yang dibuat oleh dewan mengenai masalah ini. Ada kemungkinan bahwa masalah telah digantikan oleh isu panas lainnya yang merupakan isu herecy dari Jemaat Islam Ahmadiyah yang datang setelah kasus CLD-KHI.
"Ini adalah hukum jahat, jika kita mengikutinya, kita akan menjadi murtad," Ali Mustafa Ya'qub, Wakil Ketua Komisi Fatwa dari CIU, argues.32 Umar Shihab, salah satu anggota dari Kepala Dewan CIU, berpendapat bahwa CLD- KHI tidak hanya bertentangan dengan syariah, tetapi juga untuk KHI-Inpres yang telah menjadi konsensus di antara umat Islam Indonesia. Tim merumuskan CLD-KHI tidak hanya salah menafsirkan, tetapi juga menyimpang ayat-ayat Alquran. "Ini hanya akal-akalan," ia says.33
Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, cenderung tidak setuju dengan CLD-KHI. "CLD-KHI memiliki beberapa absurditas," katanya. Materi dalam CLD-KHI tidak dibahas dengan para pemimpin agama sebelum diluncurkan. CLD-KHI hanya diusulkan oleh beberapa Muslim dan tidak mencerminkan view.34 mayoritas "Jika CLD-KHI diimplementasikan, itu adalah bentuk paksaan karena mayoritas Muslim tidak setuju dengan hal itu, dan itu bertentangan dengan prinsip pluralisme dan dianggap sebagai minoritas tiran, "ia argues.35
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), melalui orang berbicara nya Fauzan al-Anshari, protes ke Menteri Agama tentang CLD-KHI. Dia berpendapat bahwa sebagian besar ide-ide dalam CLD-KHI bertentangan dengan ajaran Islam dan berpotensi menyebabkan serius fitnah (fitnah) .36
Huzaemah Tahido Yanggo (A'wan Syuriyah PBNU) memiliki pendapat yang sama dengan Fauzan. Huzaimah menganggap CLD-KHI dalam posisi bertentangan dengan maqashid al-syari'ah atau prinsip keadilan sosial, kepentingan publik, kesejahteraan sosial dan kebijaksanaan gender. Ini berarti bahwa CLD-KHI telah distroyed Islam itself.37
"CLD-KHI bukan produk hukum Islam tetapi produk ideologi sekuler," Nabilah Lubis, seorang dosen di Fakultas Adab UIN Jakarta berpendapat. Menurut dia, ide-ide dalam CLD-KHI seperti "sel-sel kanker" yang sangat berbahaya karena merupakan cara berpikir dan paradigma ideologi dilengkapi dengan tindakan politik untuk membuat umat Islam jauh dari al-Qur'an dan al-Hadits. ... "38
"CLD-KHI harus ditolak," KH Mas Subadar, Pengasuh Pesantren Rawdlatul Ulum Pasuruan Jawa Timur, negara. Dia telah sangat ditentukan kemauan untuk membatalkan CLD-KHI dengan melobi ulama yang menjadi anggota DPR. Dalam banyak kasus, dia tidak setuju dengan ide-ide dalam CLD-KHI. Salah satunya adalah gagasan tentang setua usia minimum untuk menikah untuk kedua pria dan wanita 19 tahun. Dia menolak ide dengan mengutip pandangan pendiri empat sekolah hukum Islam pada kasus ini. Dia berpendapat bahwa seorang wanita tua bayi sehari bisa menikah. "Tentu saja orang tuanya yang menikahinya off." Tapi dia setuju dengan tim CLD-KHI mempertimbangkan pernikahan tidak semacam ibadah, tetapi bentuk hubungan manusia. Dia keyakinan bahwa ide ini accords dengan ide pendiri empat sekolah dari law.39 Islam
Athian Ali, Kepala Ulama (FUUI) di Bandung, menolak CLD-KHI berdasarkan alasan bahwa ide-ide dalam CLD-KHI tidak dirumuskan berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, tetapi nilai-nilai Barat seperti demokrasi, pluralisme , gender dan hak asasi manusia. Proyek ini juga menerima dukungan keuangan dari agen Western, yaitu The Asia Foundation. Ide-ide tentang hukum Islam yang dirumuskan oleh tim yang mencerminkan kepentingan Barat dan CLD bisa disebut "Komunis" (singkatan dari Kompilasi Hukum Non-Islam / Kompilasi Hukum Islam Non) .40 Hizbut Tahrir calles CLD-KHI sebagai kompilasi inkar Syari 'di law.41 "CLD dirumuskan berdasarkan jenis kelamin, demokrasi, pluralisme dan hak asasi manusia. Memanggil CLD sebagai hukum Islam tidak logika, karena hukum Islam harus didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah. CLD-KHI tidak kompilasi hukum Islam, tetapi kompilasi hukum setan ".42" ini adalah bagian dari misi zionis internasional yang ingin menghancurkan semua agama sebagai agenda direkomendasikan oleh Kongres yang diadakan di Los Angeles pada tahun 1947 , "Mohammad Thalib, Wakil Amir MMI, comments.43
Selain anggota mayoritas MUI, MMI, HTI, FPI, dan DDII yang keras menolak gagasan dalam CLD-KHI, beberapa intelektual di universitas, pesantren dan beberapa anggota tim merumuskan KHI-Inpres mengambil posisi yang sama. Sementara NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah, al-Irsyad, dan lain-lain tidak menanggapi ide-ide, tetapi beberapa anggota organisasi tersebut mengatasi komentar mereka di CLD-KHI apakah pro atau con.44
Para anggota kelompok yang menolak ide dalam CLD-KHI mengungkapkan penolakan mereka dengan berbicara kata-kata kasar dan frasa seperti "hukum yang jahat," "hukum Komunis," dan "hukum setan" .45 A coment sistematis terhadap penolakan terhadap ide-ide dalam CLD -KHI telah ditulis oleh Huzaemah Tahido Yanggo. Dia menulis sebuah booke berhak Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 51 + x halaman.
Huzaemah membahas ide-ide dengan mengutip beberapa alasan berasal dari al-Qur'an, Hadits, dan melihat ulama. Dia menemukan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh tim dari CLD-KHI. Beberapa ide dalam CLD tidak cocok dengan aturan Islam berasal dari Al-Qur'an, Hadits dan tradisi hukum Islam yang diadopsi oleh umat Islam mayoritas di Indonesia. Berikut adalah beberapa catatan yang dibuat oleh Huzaemah:
. "Memanfaatkan sudut pandang subjektif, sesuai dengan sifat dan karakter anggota tim.
 · Memanfaatkan sinical, sentimental, memprotes, ekspresi sombong dan tidak konsisten.
 · Visi dan misi Its terdiri dari: pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, emansipasi, humanisme, inklusivitas, mendekonstruksi syariah, dll CLD dirumuskan oleh tim yang memanfaatkan beberapa pendekatan seperti jenis kelamin, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi, dan tim tidak mengacu pada metodologi hukum Islam, dan ini jelas dinyatakan oleh tim. Tim mengacu maqashid al-syari'ah sebagai dasar, tetapi perumusan CLD-KHI bertentangan dengan maqashid al-syari'ah.
 · CLD mengkritik beberapa sudut pandang: [1] al-Qur'an dan Hadits harus ditafsirkan sejalan dengan logika dan tradisi serta konteks sosial masyarakat. Al-Qur'an dan Hadits harus dipahami dari perspektif maqashid nya (tujuannya) untuk mewujudkan kepentingan publik. Hal ini tidak cukup untuk melihat makna literal dari teks; [2] karya ulama klasik yang dianggap mengandung prasangka Arab dan dari tanggal, tidak cocok untuk pengembangan sejarah lagi. Mereka harus ditinggalkan; [3] Paradigma dan orientasi keagamaan (dari theocentris ke anthropocentis); [4] yang berisi masalah kemanusiaan dan hubungan antar-agama seperti pernikahan antar-agama, pernikahan dengan jangka waktu tertentu, warisan antar-agama, wali bagi anak-anak dari pernikahan antar-agama.
 · Prinsip yang digunakan: "mujtahid (dalam mencari hukum dari al-Qur'an dan al-Hadits) memperhatikan arti penting dari teks (maqashid al-nash), tidak arti harfiahnya." "Adalah mungkin untuk membatalkan nash (ajaran Islam) dengan memanfaatkan logika dan kepentingan publik, dan ammending nash (beberapa doktrin Islam) dengan logika dan hal-hal umum. "46
Berdasarkan catatan increment, Huzaemah berpendapat bahwa ada 16 artikel di CLD-KHI yang bertentangan dengan ayat-ayat Alquran dan Hadits. Diantaranya adalah [1] Prinsip pernikahan adalah monogami. Pernikahan bertentangan dengan prinsip ini harus dinyatakan sebagai void (pasal 3 (1-2)). Artikel ini bertentangan dengan Sura an-Nisa ': 3 yang memungkinkan poligami; [2] Pengantin memiliki hak untuk membuat kontrak pernikahan untuk jangka waktu tertentu (artikel 22 dan 28). Artikel ini bertentangan dengan hadits: "perkawinan mut'ah batal sampai akhir hari [HR. Muslim]; [3] pernikahan antar agama diperbolehkan (Pasal 54). Artikel ini bertentangan dengan Surat al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10,47
Kritik yang disampaikan oleh Huzaemah menjelaskan beberapa alasan teologis yang diusulkan oleh kelompok lawan. Sayangnya, diskusi yang serius dan dialog antara Huzaemah dan tim CLD-KHI tidak pernah terjadi. Mereka memberikan ide-ide mereka di forum publik yang berbeda dan ocassions.48
2. Pemrakarsa Grup
Di balik masalah controvesial, selalu ada pendukung dan pembela. Hal ini juga terjadi pada kasus CLD-KHI. Dalam hal ini, dapat dicatat bahwa hampir semua Organisasi Swadaya Masyarakat (LSM) yang menegakkan keadilan dan kesetaraan gender seperti Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Fahmina-institute, Institut Agama dan Jender Studi (LKAJ), Rahima, Puan Amal Hayati, Jurnal Perempuan, Wanita Pusat Studi (PSW), Kalyana Mitra, Kapal Perempuan, Solidaritas Perempuan, LBH Apik, Fatayat NU-, Rifka An-Nisa ', dll menghargai dan mendukung pekerjaan Pokja PUG Depag untuk meng-upgrade CLD-KHI untuk menjadi tindakan atau ketentuan sebagai counter untuk RUU HTPA. Setidaknya, draft dapat menjelaskan kepada mereka yang memiliki hak untuk membuat ketentuan mengenai hukum keluarga Islam.
Dukungan juga telah ditangani oleh beberapa LSM yang concern terhadap penegakan hak asasi manusia dan pluralisme, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Konferensi Indonesia untuk Agama dan Perdamaian (ICRP), The Wahid-lembaga, Jaringan Islam Liberal ( JIL), Lakpesdam NU-, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Desantara, Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), beberapa anggota beberapa pesantren, beberapa akademisi, beberapa ahli hukum, dan sebagainya. Mereka menghargai ide-ide dalam CLD-KHI sebagai ide ideal hukum Islam.
Kelompok-kelompok yang disebutkan mempublikasikan CLD-KHI di media publik mereka, memperkuat alasan dalam seminar dan forum lainnya, memberikan pendapat mendukung mereka dan komentar di media massa, menolak pelarangan CLD-KHI oleh Menteri Agama, dan membangun jaringan untuk advokasi kebijakan, baik kepada Pemerintah dan DPR.
Di antara komentar yang mendukung dari kelompok pendukung CLD-KHI adalah komentar yang diucapkan oleh Ulil Abshar Abdalla-, seorang aktivis dari JIL. Dia berpendapat bahwa "Ini sangat radikal tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk semua negara-negara Muslim, jika tidak dunia. Ini akan menjadi sebuah revolusi yang signifikan dalam hukum Islam, jika DPR dibagikan. "49
Komentar serupa juga dinyatakan oleh Nurul Arifin, seorang aktris dan aktivis perempuan. Dia berpendapat bahwa "ini [CLD-KHI] adalah ide revolusioner, upaya untuk menumbuhkan semangat kesetaraan gender dan pluralisme yang harus dimulai dari sekarang" .50
Masdar F Mas'udi, anggota dewan kepala PBNU, juga mendukung CLD-KHI, meskipun ia tidak setuju dengan gagasan bahwa poligami adalah batal. Dia menghargai tim karena mereka telah berhasil merumuskan CLD-KHI. Dia memprediksi bahwa CLD-KHI akan menjadi obyek kritik keras dari mayoritas umat Islam Indonesia, karena perkawinan dan warisan adalah bagian dari hukum keluarga Islam yang secara langsung menyentuh urusan publik. 51
Moeslim Abdurrahman yang merupakan tokoh Muhammadiyah memiliki pendapat yang berbeda dari Pemimpin Umum Muhammadiyah. Dia memuji CLD-KHI. Ia percaya bahwa Islam mendorong pemeluknya untuk melakukan ijtihad hukum Islam untuk membuat doktrin Islam yang cocok untuk perubahan sosial. CLD-KHI merupakan produk ijtihad kolektif tentang hukum Islam yang dipercepat untuk perubahan sosial di Indonesia kontemporer. 52
Penghargaan lainnya adalah bahwa kepala Pokja PUG Depag, Siti Musdah Mulia, dianugerahi oleh Majalah Tempo sebagai tokoh terkemuka di 2004,53 Kelirumologi Award dari Lembaga Pusat Studi Kelirumologi (PSK) Indonesia pada 9 Agustus 2005 di Jakarta, dan Perempuan Internasional Keberanian Award dari Pemerintah AS pada Senin, 7 Maret 2.007,54 admirations ini menjadi bagian dari appreciaton dari lembaga-lembaga publik di seccess tim dalam mengatur CLD-KHI dan keberanian, karena CLD_KHI adalah produk dari kerja tim dan kontributor, tidak pekerjaan pribadi.
Kelompok pendukung tidak memiliki catatan penting pada beberapa ide tentang pembaharuan hukum keluarga Islam yang diusulkan oleh CLD-KHI. Mereka menganggap beberapa ide tidak cocok untuk umat Islam Indonesia, tetapi kritik mereka tidak disampaikan dalam ruang publik. Waktu periode perkawinan atau "Kawin Kontrak" adalah contoh. Beberapa aktivis perempuan seperti Naqiyah Mukhtar, kepala mantan dari Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, tidak setuju dengan gagasan itu. Dia percaya bahwa pernikahan untuk jangka waktu tertentu atau "Kawin Kontrak" akan melemahkan sikap perempuan dalam pernikahan, karena perempuan yang akan menanggung dampak negatif dari pernikahan setelah periode datang ke end.55
Pro con terhadap CLD-KHI surat kabar dan majalah terus menerus berwarna sampai Menteri Agama, Maftuh Basyuni melarang tim pada Februari 2005. Setelah melarang, kontroversi CLD-KHI di ruang publik menurun-untuk tidak mengatakan selesai. Tapi sebagai wacana akademis, ide milik CLD-KHI masih discussed.56 Dampak pelarangan adalah bahwa tim gagal untuk memberikan naskah CLD-KHI ke DPR sebagai konsep hukum kontra terhadap RUU HTPA.
E. Kesimpulan
Dengan beberapa kontroversi di pertengahan gelombang insistance pelaksanaan syariah setelah jatuhnya Orde Baru, tim CLD-KHI telah mengusulkan satu set formulasi hukum keluarga Islam tentang perkawinan, warisan dan sumbangan properti untuk penggunaan agama . Peraturan sementara Terbaru adalah RUU HTPA dan KHI-Inpres.
CLD-KHI mengusulkan 23 ide-ide tentang pembaharuan hukum keluarga Islam yang berbeda dari yang sebelumnya. The rim CLD-KHI menyatakan bahwa perumusan ide didasarkan pada interpretasi al-Qur'an, al-Hadits, dan pendapat ulama dengan mempertimbangkan kepentingan publik, maqās \ id al-Shari 'ah, logika publik, dan kearifan lokal. Beberapa perspektif seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan keadilan dan kesetaraan gender pada perumusan ketentuan Indonesian digunakan.
Seperti kasus pernikahan perbuatan yang timbul kontroversi pada tahun 1973, ide pembaruan hukum keluarga Islam di CLD-KHI juga lahir pro dan kontra ditangani oleh tokoh-tokoh Muslim. Beberapa kelompok menolak CLD-KHI. Genrally berbicara, penolakan berasal dari organisasi Islam yang menjunjung tinggi agenda formalisasi syariah seperti MMI, FPI, HTI, MUI, DDII, FUI, dan FUUI. Lainnya menerima dan mendukung CLD-KHI. The berasal dukungan dari LSM yang mempromosikan ide-ide seperti keadilan dan kesetaraan gender, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralisme seperti ICRP, ICIP, WI, Rahima, Fahmina, Puan Amal Hayati, LKAJ, dan LBH APIK. Sementara tokoh-tokoh organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Persis, Al-Irsyad, dan dibagi dalam posisi pro dan kontra. Beberapa akademisi seperti Taher Azhari, Hasanuddin AF, dan Huzaemah T Yanggo, meskipun cenderung menolak, mereka masih memberikan apresiasi kepada CLD-KHI, dan bahkan setuju dengan beberapa ide milik CLD-KHI.
Seperti penjelasan increment, CLD-KHI diatur untuk menanggapi insistance formalisasi syariah dengan memberikan perumusan syariah alternatif yang mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender, demokrasi, pluralis, tapi mengapa hal itu ditolak oleh kelompok-kelompok Islam yang mempromosikan ide formalisasi syariah? Jawabannya adalah bahwa itu adalah karena tim CLD-KHI dimanfaatkan perspektif aneh dalam merumuskan hukum Islam seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender. Perspektif ini dianggap sebagai Barat (non-Islam) intervensi terhadap hukum dan ide-ide buah Islam dianggap tidak murni hukum Islam berasal dari al-Qur'an dan Hadits. Selain itu, sebagai satu set ide-ide alternatif, CLD-KHI tampaknya "mengejutkan" karena berbeda dari dan bahkan bertentangan dengan pemahaman umum dari ajaran dan praktik Islam, terutama tentang pernikahan. Ide dalam CLD-KHI berbeda dari praktek umum dan dari tekstual makna al-Qur'an dan al-Hadits.
Dukungan keuangan dari The Asia Foundation adalah alasan lain, yang tidak penting, balik kontroversi. Hal ini telah membuat kontroversi di CLD-KHI tidak selalu diperdebatkan akademis tentang hukum Islam, tapi itu dijiwai oleh kepentingan politik dengan alasan bahwa itu adalah bentuk intrusi Barat (Amerika), liberalisme dan sekularisme. Pendapat ini telah dipublikasikan oleh beberapa media seperti majalah Sabili, Hidayatullah, situs swaramuslim. Keterlibatan analisis wacana politik memperkuat suatu asumsi bahwa hukum positif, hukum Islam adalah produk konstruksi sosial-politik, tidak murni teologis. Pro dan kontra tentang perumusan hukum Islam dalam proses legislasi, oleh karena itu, tidak tergantung pada kebenaran teologis, tetapi pada dominasi politik yang mampu menjelaskan untuk kekuasaan legislatif dan governement.
Dalam konteks legislasi, tampaknya CLD-KHI "gagal" untuk meyakinkan Pemerintah, DPR, dan tokoh-tokoh Muslim mayoritas, bahkan membuat hubungan antara liberal dan konservatif Muslim buruk karena ide milik CLD-KHI telah membuat konservatif Muslim marah. Konsekuensi lebih lanjut, tim hampir bisa melakukan apa-apa untuk mempengaruhi kebijakan di arangement dari RUU HTPA dan revisi pernikahan tindakan.
Ada empat possibelities yang menyebabkan kegagalan. Pertama, tim yang mengatur CLD-KHI tidak memiliki rencana strategis dan sistematis dan pendekatan yang cocok untuk memberikan pengaruh kepada para pembuat keputusan kebijakan publik seperti pemerintah, parlemen dan partai politik. Jaringan advokasi yang telah dibangun tidak bekerja dengan baik. Kedua, kelompok gerakan konservatif Islam seperti MUI, ormas Islam lain dan akademisi memainkan peran penting dalam penyebaran ide-ide. Mereka mempromosikan ide-ide meja agresively dengan ide-ide dari CLD-KHI melalui berbagai media massa. Ketiga, ide-ide yang diusulkan oleh CLD-KHI adalah masalah yang sangat sensitif yang memprotes nurani agama dan pemahaman didirikan ajaran Islam seperti poligami adalah haram li ghairihi dan pernikahan untuk jangka waktu tertentu yang diperbolehkan. Keempat, konflik kepentingan internal yang terjadi di dalam Departemen Agama. Dua tahun sebelum CLD-KHI diluncurkan oleh Pokja PUG, Departemen Agama telah diformat BPPHI untuk mengatur dan merumuskan RUU HTPA kemudian diusulkan ke DPR untuk meningkatkan status KHI dari Instruksi Presiden menjadi tindakan. Dua set rancangan hukum keluarga Islam yang ide mayoritas bertentangan satu sama lain dibesarkan dari lembaga yang sama (Departemen Agama) dan keduanya diluncurkan oleh Menteri sama Departemen Agama. Tentu saja, ini menjadi objek kritik.
Pada lapisan konseptual, CLD-KHI, bagaimanapun, telah waktu dalam hukum Islam pemersatu dan pas dengan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan keadilan dan kesetaraan gender dalam metodologi baik dan perumusan hukum Islam. CLD-KHI telah menjadi objek studi dan diskusi akademik yang serius di beberapa universitas. CLD-KHI juga memberikan konsep alternatif dari hukum Islam selain KHI yang dikeluarkan oleh Governement. Terlepas dari kontroversi tentang ide-ide milik CLD-KHI, ide-ide yang sangat berguna untuk menjadi referensi untuk membuat kebijakan publik di peraturan nasional atau lokal pada hukum Islam. Ini adalah kontribusi penting dari CLD-KHI untuk pengembangan hukum keluarga Islam di Indonesia kontemporer
BIBLIOGRAPHY
Abdalla, Ulil Abshar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Kerjasama Jaringan Islam Liberal, Freedom Institute [dan] Nalar, 2005.
----------, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, Jakarta: Nalar,
2007.
Abdurrohman, H., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Asa, Syu’bah, “Hukum Islam Buat Arsip”, Majalah TEMPO, edisi 31 Oktober 2004.
AsiaViews,http://www.asiaviews.org/?content=25889s1dddt33gf&colcom=2004101320390527.
10.04.
Basalim, Umar, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002.
Bush, Robin, “Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom?” dalam Greg Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: Iseas, 2008.
Ditbinbapera Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ditbinbapera, 1991/1992.
Fealy, Greg dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2008.
Fealy, Greg and Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook. Singapore: Iseas, 2006.
----, “Liberal Islamic Groups have Prompted a Backlash,” Inside Indonesia 87: Jul-Sep 2006, dalam http://insideindonesia.org/content/view/69/29/
Feener, R Michael dan Mark E. Cammack (Eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, Amerika: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School, 2007.
GATRA, http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id+20700.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1982.
Hooker, MB, Indonesian Syari’ah: Defining a National School of Islamic Law, Singapore: ISEAS, 2008.
Hosen, Nadirsyah,  Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2007.
http://www.majelis.mujahidin.or.id/Kolom/Hukum/Koreksi_atas_kompilasi_hukum_Islam/
http://www.america.gov/st/washfileenglish/2007/March/20070308143741ajesrom0.7947809.h tml.
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/13/tim e/084921/idnews/753308/idkanal/10
http://www.fpi.or.id/default.asp).
http://www.hidayatullah.com/modules.php?name=News&file=print&sid=1433
http://www.humasdepag.or.id/berita_isi.php?id=54
http://www.kpu.go.id/
http://www.mpr.go.id/pimpinan1/?p=337,  diakses 20 September 2008.
http://www.nu.or.id/page.php http://www.republika.co.id/ASP/online_detail.asp?id=174746&kat_id=23.
 http://www.majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/12/27/LK/mbm. 20041227. LK95355.id.html
Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Jurnalperempuan, http://jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7CX28.10.04
Lindsey, Tim, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy”, Singapore Journal of International & Comparative Law (2002) 6.
Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1988.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
 Jakarta: LP3ES, 1985.
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
----, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan (Pikiran-pikiran Nurcholish ‘Muda’), Bandung: Mizan, 1993.
Mahbubah, Analisis atas Ketentuan Hukum Perkawinan Beda Agama dalam KHI dan CLD-KHI, Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005.
Mas’udi, Masdar F, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Masnun, “Pemikiran Hukum Keluarga Islam Liberal di Indonesia”, Tesis pada Program Pascasarja IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2002.
Minhaji, Akh, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta Press, 2001.
Nasution, Adnan Buyung, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Nasution, Harun,  Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
----, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995.
Ni’ma, Awwali ‘Ainin, Kontroversi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Studi Analisis tentang CLD-KHI Perspektif Tim Penggagas, Skripsi STAIN Ponorogo, 2007.
Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawwir Syadzali, MA, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), 1995.
Rais, M. Amien, “Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian”, Kata Pengantar buku Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002.
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, Purwokerto: PSG STAIN Purwokerto, 2004.
Syamsiyatun, Siti dan Alimatul Qibtiyah (ed.), Amandemen Undang-undang Perkawinan sebagai Upaya Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
Shadily, Hasan (ed.), Ensiklopedi Indonesia, jilid 1, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980.
Siddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdur Rauf Saimia (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
----, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Subhan, Zaitunah, dkk. (ed.), Membendung Liberalisme, Jakarta: Republika, 2004.
Swara Muslim, http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2454_0_1_0_C
Tim Tempo (ed.), Apa dan Siapa Orang-orang Indonesia 1981-1982, cet. 1, Jakarta: Grafity Press, 1981. 1
Tempointeraktif.com, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/09/ brk,20041109-07,id.html
Thalib, Sayuti, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin, Jakarta: UI Press, t.t.
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Depag, 2004.
Tobibatussa’adah, Kontroversi Otoritas Pembaharuan Hukum Islam: Studi tentang Respon Masyarakat Muslim Indonesia terhadap Counter Legal Draff (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Lampung: STAIN Metro Lampung, 2008.
Wahid, Abdurrahman, “Pribumisasi Islam”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta: LkiS, 2001.
Widiana, Wahyu, “Aktualisasi KHI di PA dan Upaya Menjadikannya Sebagai UU.” Makalah disampaikan pada Diskusi “Memantapkan Posisi KHI dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia yang Demokratis” pada 27 Juli 2003.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Adelina, 2005.
Yusuf, Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000.
 Footnotes:
1This paper was presented at The 4th Annual Islamic Studies Postgraduate Conference, The University of Melbourne, 17-18 November 2008
2 “Kompilasi Hukum Islam akan ditingkatkan Jadi UU” , GATRA, September 19th, 2002. Baca http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id+20700. See also “Draft RUU Hukum Perkawinan Islam akan Diajukan ke Sekneg,” Tuesday, November 9 th, 2004 at http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/09/brk,20041109-07,id.html
3Findings of research on “Aplikasi KHI pada Pengadil an Agama/Pengadilan Tinggi Agama” (the implementation of KHI in Higher Court/ Religious Higher Court) by Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Depag RI 2001 show that from 1008 verdicts made by Religious Court (PA)/ Religious higher Court (PTA) in some districts like Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, and Bandar Lampung implicitly show that almost 100% of the verdicts refered to KHI-Inpres, and 71% explicitly stated KHI-Inpres. Wahyu Widiana, “Aktualisasi KHI di PA dan Upaya Menjadikannya Sebagai UU,” Paper presented at a dis cussion “Memantapkan Posisi KHI dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia yang Demokratis,” o n July 27th, 2003.
4The book written by the Team of Mainstreaming Gender (Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI) entitled Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, published in Jakarta, in 2004, and consists of 119 + vi pages.
5Ibid., p. 8. 6Ibid., p. 4.
7Compare to Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy,” Singapore Journal of International & Co mparative Law (2002) 6, pp. 246, 250, 269-271. Nadirsyah Hosen, Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, (Singapore: Iseas, 2007), pp. 188-215. deep explanation on the idea and the process of the amendment of UUD 1945 in General Meeting of MPR 1999 can be read in Slamet Effendy Yusuf and Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000).
8See Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002).
9.Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), pp. 259-260.
10Quoting Pierce’ thesis, a legal expert, Shalahuddin Wahid, explains that the relationship between religion and state regarding implementation of sharia by the state can be categorized into five levels. See KOMPAS, April 7, 2002.
11M. Amien Rais, “Islam dan Negara di Indonesia: Menc ari Akhir Pencarian,” in acknowledgment of Umar Basalim’s book, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), p. xv. See also “FUI Minta Islam Jadi Agama Resmi di UUD 1945” dalam http://www.mpr.go.id/pimpinan1/?p=337, accessed on September 20th, 2008.
12Among other drafts is provisional draft on Applied Law of Religious Court, Provisional draft on the Revision towards Act No. 1/1974 on Marriage, and the draft of code of private law.
13Robin Bush, “Regional Sharia Regulations in Indones ia: Anomaly or Symptom?” in Greg Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Iseas, 2008), p. 176.
14Tim  Pengarusutamaan  Gender  Departemen  Agama  RI, Pembaruan  Hukum  Islam:  Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, p. 3. 15Ibid., p. 2. 16Ibid., pp. 7-8.17Ibid., pp. 22-23.18Ibid., p. 3.19Ibid., pp. 3-4.
20Tim    Lindsey,    “Indonesian    Constitutional    Reform:    Muddling    Towards Democracy,” Singapore Journal of International & Comparative Law (2002) 6.
21Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, pp. 25-29.
22Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah , (Jakarta: UI Press, 1987); Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995).
23Muntaha Azhari and Abdul Mun’im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989).
24 Iqbal Abdur Rauf Saimia (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1988); Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), 1995); Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997).
25Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991).
26 Ulil Abshar-Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007); Menjadi Muslim Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal in cooperation with Freedom Institute [and] Nalar, 2005).
27“Govt Initiates ‘Revolution’ in Islamic Law,” The Jakarta Post.com, October 5th, 2004, in http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp 28  Gatra, The Magazine, October 16th,   2004, p. 85.
29 Amanah: the Magazine No 58/XVIII January 2005/Dzulqa'dah- Dzulhijjah 1425 H and it was published by Swara Muslim at http://www.swaramuslim.net/more.php?id=387_0_1_10_m, February 17th, 2005.
30“Siti Musdah Mulia “Stand Up for Her Convictions” in The Jakarta Post, March 23rd, 2007. See also http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/13/tim e/084921/idnews/753308/idkanal/10.
31“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,”   TEMPO, October 17th, 2004, p. 117.
32Ibid. See also ”Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departem en Agama, The Asia Foundation Dibalik Draft Kompilasi Hukum ”Inkar Syari’at”, Swara Muslim, October 28th, 2004, http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2454_0_1_0_C
33“Menteri Agama Larang Diskusikan Draft Hukum Islam” , Tuesday, Oktober 19th, 2004. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/19/brk,20041019-28,id.html
34See “Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, October 6th, 2004 in http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
35“MUI: Pembaruan Hukum Islam Mengandung Absurditas,” October 7th, 2004, in http://www.humasdepag.or.id/berita_isi.php?id=54
36 “Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, October 6th, 2004 in http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp. See also “Majelis Mujahidin: Draft KHI Bertentangan dengan Islam,” Tuesday, Oktober 5th, 2 004, in http://www.republika.co.id/ASP/online_ detail.asp?id=174746&kat_id=23. See also Fauzan al-Anshori, ”Koreksi atas Kompila si Hukum Islam,” in http://majelis.mujahidin.or.id/ Kolom/Hukum/Koreksi_atas_kompilasi_hukum_Islam/
37”Pikiran  Liberal  dalam  Hukum  Perkawinan  Islam  Terus   dapat  Tentangan,”  Saturday,  Mey
14th, 2005. See http://www.nu.or.id/page.php  38Ibid. 39“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,”   TEMPO, October 17th, 2004, pp. 118 and 123.
40”Marriage  Laws  on  the  Rocks”,    Asia  Views,  40/I/September/2004,  see  also  the  Magazine
TempoNo.06/V/October12-18,2004,in http://www.asiaviews.org/?content=25889s1dddt33
gf&colcom=2004101320390527.10.04.  See  also  “Kerancuan  Metodologi   Draft  Kompilasi  Hu kum Islam,”  Hidayatullah.com,  October  23rd, 2004 in http://www.hidayatullah.com/modules.php? name=News&file=print&sid=1433                                                                                  
                41http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2402_0_1_0_C                          
                42See ”Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departemen Aga ma,”in http://swaramuslim.net/more.php?id=2454_0_1_33_M, October 27th, 2004.                     
                43 Interview  with  Mohammad  Thalib,  Vice  Amir  of  Majelis  Mujahidin  Indonesia,  Swara Muslim, Oktober 28th, 2004, p. 4, in http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2455_0_1_0_C
                44Compare    with    R               Michael    Feener     and    Mark    E.    Cammack    (Eds.), Islamic  Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, (Amerika: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School, 2007), pp. 143-144. See also Zaitunah Subhan, et.al. (eds.), Membendung Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).
45They reject the ideas by publishing news (interview) in the Magazine Sabili, Magazine Tarbiyah, Newspaper Republika, leaflette al-Muslimun, News Letter Hizbut Tahrir, website swaramuslim.com, www.hidayatullah.com, Friday sermons, study circles, seminars, limited and public discussion, talkshow in radios, etc.
46Huzaemah  Tahido  Yanggo,  Kontroversi  Revisi  Kompilasi  Hukum  Islam,  (Jakarta:  Adelina, tanpa tahun), pp. 7-9. 47Ibid., pp. 19-29.
48At the end of October 2004, there was a plan to create an academic forum for dialogue between the team of CLD-KHI and its opponent groups held by the faculty of Syari’ah UIN Jakarta, but it was fail to be held with no reason.
49 Ulil Abshar-Abdalla’s comment in “Govt Initiates ‘ Revolution’ in Islamic Law,” The Jakarta Post, 5 Oktober 2004, also in http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
50“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,” TEMPO, October 17th, 2004, pp. 118 and 122. 51“Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, October 6th, 2004 in http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp 52Ibid.
53Tempo, December 27th, 2004, in http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/ 12/27/LK/mbm.20041227.LK95355.id.html
54 http://www.america.gov/st/washfile-english/2007/March/20070308143741ajesrom0. 7947809.html. See also “Siti Musdah Mulia Stand Up for Her Conv ictions,” The Jakarta Post, March 23rd, 2007; See also Baca the magazine Tempo, March 19th, 2007, in http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/03/19/ALB/mbm.20070319.ALB123404.id.html
55Interview with Naqiyah Mukhtar, an ex Head of Center for Gender Study (PSG) STAIN Purwokerto, on June 5th, 2008 in Jakarta.
56Among works discussing on CLD-KHI: Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, (Purwokerto: PSG STAIN Purwokerto, 2004); Huzaimah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Adelina, 2005); Mahbubah, Analisis atas Ketentuan Hukum Perkawinan Beda Agama dalam KHI dan CLD-KHI, Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005; Greg Fealy and Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, (Singapore: Iseas, 2006); Awwali ‘Ainin Ni’ma, Kontroversi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Studi Analisis tentang CLD-KHI Perspektif Tim Penggagas, Skripsi STAIN Ponorogo, 2007; R Michael Feener dan Mark E. Cammack (Eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, (Amerika: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School, 2007); M.B. Hooker, Indonesian Syari’ah: Defining a National School of Islamic Law, (Singapore: Iseas, 2008); Tobibatussa’adah, Kontroversi Otoritas Pembaharuan Hukum Islam: Studi tentang Respon Masyarakat Muslim Indonesia terhadap Counter Legal Draff (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI), STAIN Metro Lampung, 2008; Greg Fealy dan Sally White (eds.),


Comments

Popular posts from this blog

Masalah fiqih kontemporer

Masalah-masalah Fiqh Kontemporer dan Cara Menjawabnya oleh Para Ulama Serta Sumber Hukumnya   Pertanyaan 1 : Apakah memakai cadar itu bid’ah? Jawaban: Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai bid’ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya. Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib menutupnya – demikian pula dengan hukum  kedua  telapak tangan  adalah masalah yang masih diperselisihkan. Masalah ini masih diperselisihkan oleh

Penafsiran Hukum Pidana

PENAFSIRAN HUKUM Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya [1] . Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada pelbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang dikodifikasikan umumnya bersifat statis . Ketidaksempurnaan  dan ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipum kodifikasi telah diatur sedemikian rupa. Hal ini di sebabkan oleh adanya hal-hal yang tidak atau belum terjadi pada waktu kodifikasi seperti aliran listrik  yang ada sekarang. Dengan demikian aliran listrik yang dikontrol tanpa izin dikatakan sebagai pencuri,yang diatur dalam pasal 362 KUHP pidana [2] . Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum.dalam hal ini, Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada Un